Bandar Lampung, DN
Ketua Umum DPP Advokat Bela Rakyat Indonesia, Hermawan, S.HI., M.H., CM, SHEL, mendesak Kapolresta Bandar Lampung untuk melakukan peninjauan ulang terhadap penetapan tersangka atas nama Ketua Umum KAIM, Hi. Nuryadin, S.H. Ia menilai langkah kepolisian tersebut tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Saya minta Kapolresta melakukan peninjauan ulang dan mencabut penetapan tersangka Hi. Nuryadin, S.H. terkait kasus dugaan penipuan dan penggelapan uang sejumlah Rp500 juta. Saya menilai penetapan tersangka ini bertolak belakang dan tidak sejalan dengan hasil kasasi Mahkamah Agung,” tegas Bung Hermawan, Sabtu (5/7/2025).
Menurutnya, dalam amar putusan MA disebutkan bahwa H. Darussalam dan kawan-kawan terbukti secara sah melakukan penipuan dan penggelapan, serta diwajibkan membayar kerugian yang timbul, termasuk sejumlah uang yang dipinjam.
Hermawan juga mendukung langkah hukum yang diambil kuasa hukum Nuryadin, termasuk upaya melaporkan oknum kepolisian ke Mabes Polri atas dugaan tidak menjalankan keputusan MA dan indikasi penghilangan barang bukti yang mengarah pada dugaan kriminalisasi.
“Pasal yang dikenakan untuk menjadikan Hi. Nuryadin sebagai tersangka diduga kuat sebagai bentuk kriminalisasi. Sebab seperti kita ketahui, kasus ini berawal dari tahun 2014, dan pihak Darussalam Cs sudah pernah ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, salah satu pelaku sudah difonis bersalah dan menjalani hukuman. Lalu, di mana logika pasal keterangan palsu, sementara bukti penipuan dan penggelapan sudah lengkap?” ujarnya mempertanyakan.
Awal Mula Kasus: Pinjaman Rp500 Juta Berujung Tersangka
Dikonfirmasi terpisah, Hi. Nuryadin, S.H. membeberkan bahwa awal persoalan bermula saat dirinya membuat laporan polisi pada 18 Februari 2020 di Sat Reskrim Polresta Bandar Lampung, dengan Nomor: LP/B/405/II/2020/LPG/RESTA BALAM. Laporan tersebut terkait dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan yang dilakukan Muhammad Saleh dan H. Darussalam, S.H., sebagaimana Pasal 378 dan 372 KUHP.
“Saat itu Darussalam datang kepada saya untuk meminjam uang sebesar Rp500 juta guna mengurus surat-surat tanah milik Muhammad Saleh yang berada di Gunung Kunyit, Teluk Betung Selatan. Ia menjanjikan pengurusan selesai dalam waktu satu bulan,” jelas Nuryadin.
Ia pun menyetujui dan menyerahkan dana tersebut dalam dua tahap: tahap pertama Rp125 juta (kwitansi 9 September 2014) dan tahap kedua Rp375 juta (kwitansi 12 September 2014). Penyerahan uang disaksikan dua orang, Basyariddin dan Sudiono, yang turut menandatangani kwitansi.
Namun hingga Oktober 2014, dana tersebut belum juga dikembalikan. Dari laporannya, hanya Muhammad Saleh yang diproses hukum dan dijatuhi pidana 1 tahun 6 bulan. Putusan tersebut dijalani hingga yang bersangkutan meninggal dunia.
Dari Korban Menjadi Tersangka
Nuryadin mengungkapkan bahwa pada 6 Agustus 2020, penyidik menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/615/VIII/2020, yang menetapkan Darussalam sebagai tersangka. Namun, Darussalam mengajukan praperadilan dan melalui Putusan Nomor: 4/Pid.Pra/2022/PN.Tjk, Pengadilan Negeri Tanjung Karang mengabulkan permohonannya.
“Di sinilah kejanggalan dimulai. Setelah menang praperadilan, Darussalam malah melaporkan saya balik melalui kuasa hukumnya, Ujang Tomi, pada 7 September 2023. Ia menuduh saya memberi keterangan palsu di bawah sumpah, sesuai Pasal 242 atau Pasal 311 KUHP,” jelasnya.
Laporan balik tersebut diterima Polresta dan pada 8 Maret 2025, penyidik menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/73/III/2025/Reskrim, disusul dengan Ketetapan Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/100/VI/2025/Reskrim, tertanggal 16 Juni 2025, yang menjadikan dirinya tersangka.
“Saya merasa sangat kecewa dan tidak habis pikir. Sungguh naif jika di negara ini, seseorang yang membantu meminjamkan uang justru dihukum. Ini karena penyidik tidak profesional dan tidak proporsional dalam menangani perkara,” pungkas Nuryadin
Hermawan menilai, penanganan kasus ini menjadi preseden buruk dan mencederai keadilan. Ia meminta Polri segera mengoreksi langkah penyidik agar tidak mempermalukan institusi dan menjaga marwah hukum di mata publik.
“Institusi kepolisian harus menunjukkan bahwa mereka adalah pelindung keadilan, bukan bagian dari praktik yang justru mengkriminalisasi korban,” tegas Hermawan.(*)