Bandar Lampung, DN
Gedung Graha Saburai Auditorium Subki E. Harun pagi itu penuh semangat. Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai (Saburai) memadati ruangan untuk mengikuti Seminar Hasil Studi Lapangan yang mengangkat tema krusial: “Mengkaji Peran Mahkamah Konstitusi dan Menegakkan Hukum Lingkungan serta Melindungi Hak-Hak Lingkungan.”
Agenda akademik ini bukan sekadar forum presentasi, tetapi juga menjadi ruang refleksi dan dialog lintas pendekatan hukum. Mahasiswa memaparkan hasil pengamatan dan analisis dari dua titik studi strategis: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Desa Adat Panglipuran di Bali.
Seminar dibuka secara resmi oleh Wakil Rektor II Universitas Saburai, Ir. Anwar, S.T., M.T., yang menegaskan pentingnya pengalaman empiris dalam pendidikan hukum.
“Melalui kegiatan ini, mahasiswa tidak hanya membaca teori, tetapi juga menyentuh realitas. Mereka menyaksikan langsung bagaimana hukum bekerja di tengah masyarakat, baik melalui institusi formal seperti Mahkamah Konstitusi, maupun melalui kearifan lokal yang hidup dalam hukum adat,” tegas Anwar dalam sambutannya.
Acara turut dihadiri oleh jajaran pimpinan universitas dan yayasan, termasuk Sekretaris Yayasan yang mewakili Ketua Yayasan, Ketua Pengawas Yayasan H. Ahmad Rudi Hendra Akuan, S.H., Wakil Rektor I Dr. Raja Agung, M.H., Dekan Fakultas Hukum Dr. Sri Zanariyah, S.H., M.H., serta para dosen dan mahasiswa Magister Hukum.
Mahkamah Konstitusi: Penjaga Hak Konstitusional atas Lingkungan
Dalam sesi pemaparan, mahasiswa menjabarkan temuan mereka dari kunjungan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Fokus utama diarahkan pada peran MK dalam menjaga hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara.
Para peserta menyoroti sejumlah putusan MK yang berpihak pada perlindungan lingkungan, termasuk pembatalan ketentuan hukum yang dinilai melemahkan hak masyarakat atas tanah adat, hutan, dan sumber daya alam.
“Perlindungan lingkungan tidak hanya soal etika ekologis, tapi juga soal keadilan konstitusional. Mahkamah Konstitusi memiliki peran vital dalam memastikan negara tidak melanggar hak rakyat atas lingkungan,” ujar salah satu mahasiswa dalam sesi presentasi.
Panglipuran: Hukum Adat yang Hidup dan Efektif
Jika MK mencerminkan jantung hukum nasional, maka Desa Panglipuran menjadi cermin hukum yang tumbuh dari akar budaya. Dikenal sebagai salah satu desa terbersih di dunia, Panglipuran menyuguhkan model hukum adat yang hidup dan mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari.
Mahasiswa disambut hangat oleh perangkat desa dan tokoh adat yang menjelaskan tata kelola hukum adat mereka: pelestarian lingkungan, larangan membangun sembarangan, pengelolaan limbah, dan pengaturan mata air dilakukan dengan ketat namun tetap partisipatif.
“Kunci utama keberhasilan Panglipuran terletak pada kepatuhan kolektif masyarakat terhadap hukum adat yang diwariskan turun-temurun. Tidak ada yang melanggar, karena sanksi sosial jauh lebih kuat daripada sekadar ancaman hukum positif,” ungkap salah satu tokoh desa saat berdialog dengan mahasiswa.
Menghubungkan Teks Konstitusi dengan Kehidupan Nyata
Dekan Fakultas Hukum Universitas Saburai, Dr. Sri Zanariyah, S.H., M.H., menegaskan bahwa kegiatan ini dirancang bukan hanya untuk memenuhi kewajiban akademik, tetapi juga membentuk perspektif hukum yang lebih berakar pada keadilan dan keberlanjutan.
“Mahasiswa hukum hari ini adalah calon pembela keadilan di masa depan. Mereka harus mampu melihat hukum bukan hanya sebagai aturan tertulis, tetapi sebagai alat untuk mengangkat harkat kemanusiaan dan menjaga bumi ini tetap lestari,” tandas Sri Zanariyah dalam pidato penutupnya.
Dengan terlaksananya seminar ini, Universitas Saburai memperkuat posisinya sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum yang tidak hanya melahirkan lulusan unggul secara akademik, tetapi juga sadar akan urgensi krisis lingkungan dan pentingnya perlindungan hak-hak konstitusional masyarakat adat.
Seminar ini menandai pertemuan penting antara dua sistem hukum: formal dan tradisional, sekaligus menegaskan bahwa perjuangan hukum tidak semata berlangsung di ruang sidang, tetapi juga di tengah komunitas yang menjaga kearifan lokal sebagai pilar keberlanjutan hidup.