Di sebuah warung kopi sederhana di Bandar Lampung, dua sahabat lama, Rahmadi dan Imam, mengobrol sambil menyeruput kopi hitam.
Obrolan mereka terdengar seperti biasa-tentang harga cabai, politik lokal, sampai gosip pejabat.
Tapi kali ini, topiknya lebih “elit”: cek kosong dari ganti rugi tanah tol.
“Mad, dengar kabar tanah di Terbanggi Besar? Pemilik sahnya cuma kebagian Rp500 juta dari Rp2,8 miliar. Sisanya cek kosong,” kata Rahmadi, setengah berbisik.
Imam langsung tertawa. “Cek kosong? Wah, itu bukan ganti rugi namanya, tapi ganti janji. Kayak janji kampanye: manis di baliho, pahit di realita.”
Obrolan berlanjut, semakin pedas daripada kopi yang mereka teguk. Rahmadi mengingatkan, salah satu terlapornya ternyata Tenaga Ahli Gubernur Bidang Agraria.
Imam tak kalah cepat menimpali, “Kalau soal tanah memang ahlinya. Ahli bagi-bagi, ahli bikin bingung, ahli bikin pemilik lahan jadi penonton.”
Keduanya terbahak, sampai meja kayu bergetar.
Namun tawa itu berhenti sejenak ketika Rahmadi menyinggung proses hukum.
“Tapi Polda katanya sudah serius, sudah ada laporan polisi, sudah ada panggilan saksi.”
Imam mengangguk, lalu meletakkan cangkir.
“Iya, di kertas sih rapi. Tapi tahu sendiri, Mad, di negeri ini kertas bisa lebih mulus daripada jalan tol.”
Ledakan tawa kembali pecah ketika Rahmadi menirukan jawaban pejabat saat ditanya wartawan:
“Tanyakan ke penyidik aja dinda.”
Imam pun menepuk meja sambil berkomentar, “Wih, manis sekali jawabannya. Kalau saya ditanya utang warung kopi, bisa juga jawab begitu: ‘Tanyakan ke penyidik aja, Bang.’”
Kopi hampir tumpah, dan para pengunjung lain ikut melirik sambil tersenyum simpul.