Bandar Lampung, DN
Nasib tragis menimpa dua sopir pengangkut gas yang bekerja di bawah naungan PT Samator Tbk melalui perusahaan outsourcing PT Anugrah Terpercaya Kerja (ATK).
Saat menjalankan tugas resmi perusahaan, keduanya mengalami kecelakaan kerja yang berujung pada cacat permanen.
Ironisnya, hingga kini, tak satu pun bentuk tanggung jawab nyata diberikan oleh perusahaan tempat mereka mengabdi.
Kuasa hukum korban, Berbudi Bowo Leksono, SE., SH., MH., MK.n, selaku kuasa hukum dari Law Firm Feri Kurniawan & Partners, dengan tegas menyatakan bahwa kliennya hanya menuntut keadilan dan tanggung jawab yang layak dari pihak yang mempekerjakan mereka.
“Kami akan jelaskan kronologinya dari awal hingga saat ini. Kejadian ini sudah cukup lama, tepatnya Februari 2024. Klien kami mengalami kecelakaan saat melaksanakan tugas perusahaan, lengkap dengan surat tugas,” ujar Berbudi saat ditemui usai mediasi kedua di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Senin 23/6/2025.
Kronologi kejadian pun jelas dan mengerikan. Saat itu, kedua korban sedang menunggu tiket barcode dari pengurus Pelabuhan Bakauheni.
Mereka berada di dalam kendaraan tim, yang terparkir di sisi kiri jalan pelabuhan. Tiba-tiba, sebuah mobil dari arah atas mengalami rem blong dan menghantam kendaraan mereka dengan keras.
“Kejadian itu jelas bukan murni kesalahan klien kami. Mereka berada di lokasi sesuai perintah perusahaan. Tapi sampai sekarang, perusahaan malah lepas tangan,” tegas Berbudi.
Akibat peristiwa itu, satu korban harus menjalani amputasi kaki. Sementara satu korban lainnya terpaksa menjalani tujuh kali operasi besar dan kini mengalami kondisi kaki panjang sebelah karena dipasangi pen.
Derita mereka bukan hanya soal fisik, tapi juga psikis dan ekonomi. Biaya pengobatan membengkak, pekerjaan tak lagi bisa dijalani, dan kebutuhan keluarga tetap berjalan.
“Yang satu sekarang total tidak bisa bekerja, satunya hanya bisa bekerja terbatas. Tapi operasi masih berlanjut. Itu pun belum menghitung kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak mereka,” paparnya.
Lebih memilukan, dalam mediasi yang dilakukan hari ini yang merupakan upaya kedua pihak perusahaan outsourcing ATK hanya menawarkan kompensasi yang terdiri dari Rp4.796.591,00 sebagai dana kompensasi dan Rp2.889.193,00 sebagai tali kasih.
Total nilai yang ditawarkan kepada masing-masing korban hanya sekitar Rp7,6 juta. Tawaran ini langsung ditolak oleh pihak korban.
“Kami menolak tawaran itu. Mereka cacat permanen, tapi hanya dihargai tujuh juta rupiah? Itu penghinaan terhadap martabat buruh,” ujar Berbudi lantang.
Yang lebih disesalkan, PT Samator Tbk sebagai perusahaan pemberi kerja induk tidak memberikan sepeser pun dalam mediasi tersebut.
Pihaknya menuntut kompensasi sebesar Rp350 juta. Menurutnya, angka itu sangat wajar untuk menutup biaya perawatan, biaya hidup, dan masa depan anak-anak korban.
“Sebelum kami membawa ini ke pengadilan, kami sudah coba mediasi bipartit, tapi nihil tanggapan dan tidak membuahkan hasil. Oleh karena itu, kami lapor ke PAHI. PT Samator malah lempar tanggung jawab ke ATK, dan ATK sendiri tidak menunjukkan itikad baik. Kami menilai ada perbuatan melawan hukum, dan akhirnya kami tempuh jalur gugatan,” ungkapnya.
Mediasi resmi dinyatakan gagal. Selanjutnya, kasus ini akan dilanjutkan ke proses persidangan, dan saat ini pihak kuasa hukum tengah menunggu jadwal resmi dari panitera pengganti.
“Yang kami perjuangkan ini sederhana. Klien kami tidak mencari belas kasihan, mereka hanya meminta haknya. Jangan sampai habis manis sepah dibuang. Jangan sampai perusahaan hanya ambil untung dari keringat buruh, lalu buang mereka saat celaka,” kata Berbudi.
“Ini harus jadi pelajaran untuk semua perusahaan. Tidak ada satu orang pun yang ingin mengalami kecelakaan kerja. Tapi jika itu terjadi dalam rangka tugas resmi perusahaan, maka tanggung jawab tidak bisa dihindari. Klien kami bukan hanya kehilangan kesehatan, tapi juga kehilangan masa depan,” pungkasnya.
AS, salah satu korban, yang kini harus kehilangan kaki akibat kecelakaan itu, menyampaikan langsung rasa kecewanya terhadap perusahaan yang selama ini menjadi tempatnya bekerja.
“Saya tidak pernah menyangka, setelah saya bekerja sepenuh hati dan mengalami kecelakaan dalam tugas, saya justru diperlakukan seperti ini. Mereka tidak pernah datang melihat kondisi saya, apalagi membantu. Saya kehilangan kaki, saya kehilangan masa depan. Tapi bagi mereka, seolah nyawa dan tubuh kami tidak ada harganya,” ungkap AS dengan mata berkaca-kaca.
“Yang saya perjuangkan bukan cuma uang, tapi keadilan. Saya ingin anak-anak saya tahu bahwa ayahnya berjuang sampai akhir, walau tubuh saya sudah tidak utuh lagi,” tutupnya lirih.(Red)